Kamis, 14 Desember 2017

CINTA DALAM HATI (BILDA)

Oleh: Dwi

            Tanggal 5 Agustus 2011, Aku masih ingat hari itu. Mataku berkaca – kaca saat aku melihat kau menggandeng seorang wanita yang cantik. Hatiku teriris dan perih. Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau sudah punya pacar? Kenapa kau begitu tega padaku? Andai saja kau bisa tahu betapa sakitnya hati ini. Hatiku tersayat dan terluka. Apa aku harus melupakanmu? Kau adalah cinta pertamaku. Aku tidak pernah
merasakan rasa seperti yang aku rasakan padamu pada orang lain. Kau memang my first love dan aku selalu berharap kau akan jadi
my last love. Sejak pertama kali aku melihatmu, aku merasakan getaran – getaran cinta di hati kecilku. Yach.. love in first sign. Apalagi saat kau bicara padaku. Memang aku sudah lama tahu tentangmu, tapi kita tidak pernah bicara secara langsung. Walaupun saat itu kita tidak membicarakan hal yang penting dan tidak berkaitan dengan cinta tapi aku merasa sangat senang. Walaupun itu hanyalah pembicaraan yang sangat biasa.

***
            Sore yang cerah, mataharipun mulai tenggelam ke tempatnya di ujung barat. Angin sore menggibas pepohonan yang melambai – lambai di depan rumahku yang mungil. Ting.. nong.. aku tergesa – gesa melihat siapa yang telah menyembunyikan bel rumahku. Aku menghampiri sumber suara itu.
            “Assalamu’alaikum.” suara yang lembut di balik pintu sangat familiar padaku.
            “Wa’alaikum salam.”aku menjawab salam sambil kubuka perlahan pintu itu. Hatiku tersentak saat aku tau kalau sosok di depanku itu adalah kau. Sosok yang bisa memberi kesejukan padaku. Kedua matamu yang sipit itu membuatku tak berkutik bila kupandang. Itu kau kak! Kau yang selalu membuatku tak berdaya bila aku melihat senyum indahmu.
            “Kak Bimanya ada?” kau bertanya saat sopan dan lembut.
            “Ada kok kak, kak Lian masuk saja aku panggilkan kak Bima dulu.” Suaraku agak nervous. Itulah yang aku rasakan walaupun aku sudah lama tahu tentangmu. Tapi ini adalah kali pertama kita bicara secara face to face. Hatiku sangat senang. Memang kita belum pernah kenalan sebelumnya. Tapi aku tahu namamu dari kak Bima. Tapi.. apa kau juga tahu namaku?. Aku harap iya.
            “Tidak usah Bil, aku tunggu disini saja.” kau menjawab penuh senyum khasmu.
            “Oww.. ya sudah aku panggil kak Bima dulu ya!” aku menjawab dengan penuh senyum. Sumpah aku senang sekali. Kau juga tahu namaku. Aku terus tersenyum kegirangan.
            Kau asyik ngobrol dengan kak Bima. Tahu kah kau? Aku selalu memandangi dari balik jendela. Itu adalah kebiasaanku setiap kau datang kerumahku. Aku tak bisa berkedip bila kupandang wajahmu yang tak jauh beda dengan Mario Maurer artis asal Thailand. Apalagi saat kau tersenyum, senyuman khasmu yang mampu menghipnotisku. Entah mengapa?, kalau aku sedang ada masalah, masalahku langsung hilang apabila aku mengingatkan wajahmu. Bisa mencintaimu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Walaupun itu hanya secara diam – diam.

***
Jam wekerku terus berdering, terdengar sangat bising. Dalam keadaan yang kurang begitu sadar tanganku meraba – raba keberadaan jam wekerku. Akhirnya bunyi bising itu berhenti saat aku memencet tombol mungil di atasnya. Dengan rambut  yang masih acak – acakan aku melangkah ke kamar mandi dan bersiap untuk kesekolah. Saat aku sudah rapi dengan seragam putih abu – abuku, aku melihat kak Bima mengotak – atik sepeda motornya. Seperti biasa, kak Bima selalu mengantarku ke sekolah.
            “Sepeda motornya kenapa kak?” tanyaku dengan nada yang sangat khawatir. I can come late to school, god help me.
            “Kayaknya sepeda motornya mogok, Bil,”
            “Duch.. gimana dong kak? Aku bisa telat nih!” aku semakin khawatir.
            “Terus gimana dong Bil, kakak juga lagi usaha nih, sabar. Atau kamu..” kak Bima belum menyelesaikan omongannya tiba – tiba ada bunyi klakson memotong pembicaranku dengan kak Bima. Itu kau. Kekesalanku langsung musnah. Kau memang selalu memberi kesejukan di dalam kemarau hatiku. Aku berdo’a semoga saja sepeda motornya kak Bima masih mogok biar aku bisa di antar kau ke sekolah. Ngarep.
            “Sepedanya kenapa Bim?” tanyamu sambil membuka helm warna hitam itu.
            “ Tahu nih.. tiba – tiba saja tidak bisa hidup. Mana aku harus nganterin anak manja ini.” Sambil melirik ke arahku. Akupun cemberut menatap kak Bima. Ihh,,, kak Bima jangan jelek – jelekan aku di depan kak Lian donk. Bisikku dalam hati. Kau hanya tersenyum manis melihat tingkahku dengan kak Bima.
            “Biar aku saja yang nganterin!” kau menawarkan diri untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku tersenyum malu mungkin pipiku sudah merah seperti kepiting rebus. Rasanya aku ingin loncat – loncat kegirangan.
            “Kamu serius An? Ach.. entar aku ngerepotin kamu, kamu kesini kan untuk main, masak berubah jadwal jadi nganterin anak manja ini.”
            “Tapi Bim, nanti Bilda..”kau ngotot ingin mengantarku ke sekolah, senangnya hatiku. Kau menghawatirkanku.
            “Biar aku saja yang nganterin gadis manja ini, kamu…”
            “Jangaaaannn….!” Tiba – tiba aku reflek teriak menolak kak Bima mengantarkanku. Kau dan kak Bima langsung menatapku dengan wajah penuh tanda Tanya. Aku langsung membungkam mulutku sendiri.ochh.. kenapa bisa keceplosan sih? Bisa – bisa kau dan kak Bima bisa tahu kalau aku ada hati padamu.
            “Em.. emm.. maksudku.. anu, maksudku jangan lama – lama ngobrolnya nanti aku bias telat,he!”akhirnya aku menemukan alasan yang masuk akal. Aku  langsung nyengngir kayak kuda. Semoga saja kalian percaya. Trust me. Kau malah tersenyum manja melihat tingkahku. Membuatku semakin malu. Akhirnya kau mengantarku ke sekolah. Aku sangat senang kala itu, dunia terasa milik kita berdua.
            Bising para siswa mulai terdengar di telingaku. SMAN 3 BANGKALAN, tulisan besar di atas gerbang itu mulai terlihat dari kejauhan. Itu sekolahku.
            “Makasih ya kak!” ucapku sambil memberikan helm padamu.
            “Iya, sama – sama Bil” kau menjawab dengan penuh senyuman. Andai kau tau, senyummu itu membuatku tak berdaya. Ingin rasanya aku bilang kalau aku sangat menyayangimu. Tapi apa daya, aku malu, aku kan cewek masak cewek ngomong duluan. Huft!

***
            Ku pandangi liontin berbandul kupu – kupu pemberianmu itu saat ulang tahunku. Liontin berwarna perak itu selalu aku pakai. Aku akan selalu menyimpannya. Sampai sekarang aku selalu bertanya – Tanya, kenapa kau bisa tahu hari ulang tahunku?, padahal aku tidak pernah mengatakannya padamu. Tapi itu tidaklah terlalu penting untukku. Yang terpenting kau tahu hari ulang tahunku. Apalagi sampai kau memberikan hadiah untukku. Itu adalah hadiah terindah untukku. Aku sangat senang kau memberikan liontin kupu – kupu untukku. Bukan kemilau kalungnya yang mebuatku senang, tapi karena liontin itu berbentuk kupu – kupu. Kau masih ingat kalau aku suka kupu – kupu.
            Dulu waktu kita pergi tamasya bersama kak Bima juga, kau terus memandangiku yang sedang mengejar kupu – kupu. Kau tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak SD.
            “Dia memang seperti anak kecil kalau ada kupu – kupu!” kak Bima menjelaskan padamu.
            “Ohya? Kenapa Bim.. ?” kau tertawa mendengarkan penjelasan kak Bima.
            “Dia memang sangat suka dengan itu. Katanya sih, kupu – kupu itu hewan yang penyabar. Waktu kecil, dia pernah bilang ingin menjadi kupu – kupu, dia ingin menjadi orang yang penyabar. Hewan saja bisa sabar kenapa kita tidak. Itulah yang selalu dia katakan padaku.” Penjelasan kak Bima sangat panjang lebar, aku melihat kau melongo mendengarnya.
            “Hahahaha… Dia lucu sekali ya!” kau langsung tertawa kala itu. Tahu kah kau? Saat itu aku menguping pembicaraanmu dengan kak Bima di balik pohon cemara yang rindang. Dasar kak Bima memang bermulut besar. Tapi berkat mulut besar kak Bima itu, kau memberikan hadiah liontin kupu – kupu padaku. Liontin kupu – kupu yang mungil  berhiaskan permata yang berkilau. Aku akan selalu menyimpannya walaupun kita tidak akan bersatu. Tapi aku akan lebih senang lagi kalau saja kau memberikan hadiah itu secara langsung. Tapi kau malah menitipkan kepada kak Bima. Tapi tak apalah, kau tahu hari ultahku saja aku sangat senang. Terima kasih ya kak! Bisikku dalam hati.

***

            Kau terindah kan selalu terindah
            Aku bisa apa tuk memilikimu
            Kau terindah kan selalu terindah
            Harus bagaimana ku mengungkapkannya
            Kau pemilik hatiku

            Lagu pemilik hati dari Armada itu, menyambut pagiku. Hari libur yang sepi. Biasanya kau selalu datang main ke kak Bima. Bolak – balik aku memandangi pintu rumahku. Berharap ada orang yang mengetuknya, dan itu kau. Aku terus memandangi pintu bercat coklat itu. Tapi kau tak datang juga. Aneh, kau tak seperti biasanya. Kau kemana saat itu?.
            “Cari Lian ya?” suara kak Bima mengagetkan pandanganku.
            “Ee,, enggak kok.” aku tertangkap basah. Malu. Tapi aku berusaha ngeles.
            “Oww.. kirain cariin Lian, kalau Lian, dia ke Bandung ke rumah neneknya karena sedang liburan semester.” Sambil membawa majalah dan duduk di sampingku.
            “Hah? Ke Bandung, berapa lama?” aku terkejut mendengar penjelasan kak Bima.
            “3 bulan.” Jawaban kak Bima sangat santai.
            “Hah? 3 bulan? Lama banget.” Wajahku berubah manyun. Karena aku tidak akan bisa melihatmu dalam waktu 3 bulan.
            “Kamu suka Lian yaaaaa?” nada suara kak Bima sangat menyebalkan. Dia meledekku.
            “Apa sih?” aku mengelak, ada rasa malu di hatiku.
            “Halah.. ke kakaknya sendiri saja pakek bo’ong.”kak Bima mencubit pipiku.
            “Ihh,, sakit tau’, aku gak suka, aku Cuma kagum saja.” Sambil menggosok – gosok pipiku yang sudah merah Karena cubitan kak Bima.
            “Tuh kan, akhirnya ngaku juga. Hahahaha.” kak Bima terus meledekku.
            “Tapi…” wajahku berubah jadi manyun.
            “Kenapa?” kak Bima berhenti dari tawanya.
            “kok kak Lian gak bilang ke aku kalau dia ke Bandung?”
            “Tau’, mungkin kamu gak penting,!” kak Bima berdiri dari sofa dan meleletkan lidahnya sambil berlari ke kamarnya. Ingin sekali aku mengejarnya, tapi ku rasa percuma saja. Itu tidak akan membuatmu kembali lebih cepat. Wajahku benar – benar kusut saat itu. Aku sangat kecewa padamu. Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau akan pergi ke Bandung selama 3 bulan? Kau jahat kak. Aku pasti akan sangat merindukanmu.

***
            Hari – hari kulalui tanpamu sangatlah sepi. Ada yang berbeda bila aku tidak melihatmu. Hatiku merasakan rindu yang sangat dalam. Hanya liontin kupu – kupu darimu yang bisa menepiskan rasa rindu dalam hati ini. Kapan kau akan kembali kak? Masih lamakah? Harus sampai kapan aku tersiksa dengan rindu yang terus menerorku setiap saat?.
3 bulan yang kulewati benar – benar menyiksaku. Apa kau juga merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan padamu? Apa kau juga merindukanku? Aku harap iya. Aku selalu berharap kau juga merindukanku. 3 bulan telah berlalu dengan begitu menyayat hati. Tapi aku tidak tahu pasti kapan kau akan datang. Aku harap secepatnya, karena aku sudah sangat lelah menantimu.
            Tit.. tit.. bunyi klakson itu, aku pernah mendengarrnya. Aku sangat berharap itu kau. Aku berlari dan langsung ku buka pintu rumahku.
            Deg.. tiba –tiba jantungku terasa berhenti berdetak. Hatiku remuk dan hancur. 5 agustus 2011, kau kembali setelah 3 bulan pergi tanpa pamit padaku. Bagaimana hatiku tidak hancur? Kau datang tidak sendiri, kau menggandeng seorang wanita yang cantik. Usianya mungkin lebih tua dariku. Kau juga menggenggam erat tangannya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Sakit. Hatiku teriris dan perih. Sekian lama aku menunggu kedatanganmu dari Bandung, tapi setelah kau datang, kau menggandeng seorang yang cantik.
            “Lian…” teriakan kak Bima mengagetkanku yang dari tadi hanya terdiam di depan pintu, tanpa mempersilahkan kau masuk. Kau membalas dengan lambain tangan dan menghampiri kak Bima yang sekarang berdiri di depanku.
            “Kapan datang?” pelukan antara 2 sahabat. Sangat hangat.
            “Tadi pagi Bim”
            “Hei, siapa wanita itu? Cantik banget”.
            “Namanya Zahra, dia adalah calon istriku!” kau menjawab sambil melirik ke arahku. Apa kau ingin meyakinkanku? Tau kah kau kak? Betapa sakitnya hatiku saat kau bilang kalau wanita cantik itu adalah calon istrimu. Mendengar ucapanmu, kak Bima langsung menoleh kearahku. Kak Bima pasti tahu kalau aku patah hati. Wajah kak Bima berubah seketika. Wajah yang tadi bahgia karena baru bertemu dengan sahabatnya kini berubah menjadi seorang kakak yang merasa kasihan pada adiknya.
            “Bilda.. apa kabar?” kau bertanya dengan penuh senyum.
            “Baik kak!” suaraku bergetar. Senyum palsu menghiasi jawabanku. Apa kau tidak tahu kalau aku terpaksa tersenyum? Hanya aku yang tahu, ada air mata di balik senyumanku. Kau memperkenalkan wanitamu padaku. Aku tak mungkin menolak perkenalan itu.
            “Aku masuk dulu ya.. kak Lian dan mbak Zahra silahkan duduk” aku meninggalkan kak Bima, kau dan wanitamu yang mungkin sekarang sedang asyik ngobrol di teras. Aku tak kuat lagi memmbendung air mata yang dari tadi aku tahan. Aku tidak mungkin menangis di hadapanmu. Karena aku tidak ingin kau melihat air mataku. Ternyata kau hanya menganggapku adik. Itu yang ku tangkap dari sikapmu selama ini. Bodohnya aku sempat mengira kau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu. Seharusnya aku tak berhak untuk menangisi ini semua. Karena aku bukan siapa – siapa untukmu. Kau hanya sebuah nama yang terukir tipis dihatiku tanpa aku minta kau untuk mengukirnya. Aku hanya bisa mencintaimu secara diam – diam tanpa ada balasan darimu. Aku tak akan penah menyesal karena telah mengenalmu dan mencintaimu. Kau akan tetap menjadi my first love, walaupun aku tidak tahu siapa yang akan menjadi my last love. Apa aku masih pantas mengaharapkanmu sebagai cinta terkhirku? Entahlah. Maafkan aku kak, aku telah lancang karena mencintaimu secara diam –diam. Jangan pernah membenciku karena telah menyayangimu lebih dari seorang kakak. Cinta dalam hati, mungkin sangat pas ku jadikan judul untuk kisahku ini.