Oleh: Dwi
Tanggal 5 Agustus 2011, Aku masih
ingat hari itu. Mataku berkaca – kaca saat aku melihat kau menggandeng seorang
wanita yang cantik. Hatiku teriris dan perih. Kenapa kau tidak pernah bilang
kalau kau sudah punya pacar? Kenapa kau begitu tega padaku? Andai saja kau bisa
tahu betapa sakitnya hati ini. Hatiku tersayat dan terluka. Apa aku harus
melupakanmu? Kau adalah cinta pertamaku. Aku tidak pernah
merasakan rasa seperti yang aku rasakan padamu pada orang lain. Kau memang my first love dan aku selalu berharap kau akan jadi
merasakan rasa seperti yang aku rasakan padamu pada orang lain. Kau memang my first love dan aku selalu berharap kau akan jadi
my last love. Sejak pertama kali aku
melihatmu, aku merasakan getaran – getaran cinta di hati kecilku. Yach.. love
in first sign. Apalagi saat kau bicara padaku. Memang aku sudah lama tahu
tentangmu, tapi kita tidak pernah bicara secara langsung. Walaupun saat itu
kita tidak membicarakan hal yang penting dan tidak berkaitan dengan cinta tapi
aku merasa sangat senang. Walaupun itu hanyalah pembicaraan yang sangat biasa.
***
Sore yang cerah, mataharipun mulai
tenggelam ke tempatnya di ujung barat. Angin sore menggibas pepohonan yang
melambai – lambai di depan rumahku yang mungil. Ting.. nong.. aku tergesa –
gesa melihat siapa yang telah menyembunyikan bel rumahku. Aku menghampiri
sumber suara itu.
“Assalamu’alaikum.” suara yang
lembut di balik pintu sangat familiar padaku.
“Wa’alaikum salam.”aku menjawab
salam sambil kubuka perlahan pintu itu. Hatiku tersentak saat aku tau kalau
sosok di depanku itu adalah kau. Sosok yang bisa memberi kesejukan padaku.
Kedua matamu yang sipit itu membuatku tak berkutik bila kupandang. Itu kau kak!
Kau yang selalu membuatku tak berdaya bila aku melihat senyum indahmu.
“Kak Bimanya ada?” kau bertanya saat
sopan dan lembut.
“Ada kok kak, kak Lian masuk saja
aku panggilkan kak Bima dulu.” Suaraku agak nervous. Itulah yang aku rasakan
walaupun aku sudah lama tahu tentangmu. Tapi ini adalah kali pertama kita bicara
secara face to face. Hatiku sangat senang. Memang kita belum pernah kenalan
sebelumnya. Tapi aku tahu namamu dari kak Bima. Tapi.. apa kau juga tahu
namaku?. Aku harap iya.
“Tidak usah Bil, aku tunggu disini
saja.” kau menjawab penuh senyum khasmu.
“Oww.. ya sudah aku panggil kak Bima
dulu ya!” aku menjawab dengan penuh senyum. Sumpah aku senang sekali. Kau juga
tahu namaku. Aku terus tersenyum kegirangan.
Kau asyik ngobrol dengan kak Bima.
Tahu kah kau? Aku selalu memandangi dari balik jendela. Itu adalah kebiasaanku
setiap kau datang kerumahku. Aku tak bisa berkedip bila kupandang wajahmu yang
tak jauh beda dengan Mario Maurer artis asal Thailand. Apalagi saat kau
tersenyum, senyuman khasmu yang mampu menghipnotisku. Entah mengapa?, kalau aku
sedang ada masalah, masalahku langsung hilang apabila aku mengingatkan wajahmu.
Bisa mencintaimu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Walaupun itu hanya
secara diam – diam.
***
Jam wekerku terus berdering,
terdengar sangat bising. Dalam keadaan yang kurang begitu sadar tanganku meraba
– raba keberadaan jam wekerku. Akhirnya bunyi bising itu berhenti saat aku
memencet tombol mungil di atasnya. Dengan rambut yang masih acak – acakan aku melangkah ke
kamar mandi dan bersiap untuk kesekolah. Saat aku sudah rapi dengan seragam
putih abu – abuku, aku melihat kak Bima mengotak – atik sepeda motornya. Seperti
biasa, kak Bima selalu mengantarku ke sekolah.
“Sepeda motornya kenapa kak?”
tanyaku dengan nada yang sangat khawatir. I can come late to school, god help
me.
“Kayaknya sepeda motornya mogok,
Bil,”
“Duch.. gimana dong kak? Aku bisa
telat nih!” aku semakin khawatir.
“Terus gimana dong Bil, kakak juga
lagi usaha nih, sabar. Atau kamu..” kak Bima belum menyelesaikan omongannya
tiba – tiba ada bunyi klakson memotong pembicaranku dengan kak Bima. Itu kau.
Kekesalanku langsung musnah. Kau memang selalu memberi kesejukan di dalam
kemarau hatiku. Aku berdo’a semoga saja sepeda motornya kak Bima masih mogok
biar aku bisa di antar kau ke sekolah. Ngarep.
“Sepedanya kenapa Bim?” tanyamu
sambil membuka helm warna hitam itu.
“ Tahu nih.. tiba – tiba saja tidak
bisa hidup. Mana aku harus nganterin anak manja ini.” Sambil melirik ke arahku.
Akupun cemberut menatap kak Bima. Ihh,,, kak Bima jangan jelek – jelekan aku di
depan kak Lian donk. Bisikku dalam hati. Kau hanya tersenyum manis melihat
tingkahku dengan kak Bima.
“Biar aku saja yang nganterin!” kau
menawarkan diri untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku tersenyum malu mungkin
pipiku sudah merah seperti kepiting rebus. Rasanya aku ingin loncat – loncat
kegirangan.
“Kamu serius An? Ach.. entar aku
ngerepotin kamu, kamu kesini kan untuk main, masak berubah jadwal jadi
nganterin anak manja ini.”
“Tapi Bim, nanti Bilda..”kau ngotot
ingin mengantarku ke sekolah, senangnya hatiku. Kau menghawatirkanku.
“Biar aku saja yang nganterin gadis
manja ini, kamu…”
“Jangaaaannn….!” Tiba – tiba aku
reflek teriak menolak kak Bima mengantarkanku. Kau dan kak Bima langsung
menatapku dengan wajah penuh tanda Tanya. Aku langsung membungkam mulutku
sendiri.ochh.. kenapa bisa keceplosan sih? Bisa – bisa kau dan kak Bima bisa
tahu kalau aku ada hati padamu.
“Em.. emm.. maksudku.. anu, maksudku
jangan lama – lama ngobrolnya nanti aku bias telat,he!”akhirnya aku menemukan
alasan yang masuk akal. Aku langsung
nyengngir kayak kuda. Semoga saja kalian percaya. Trust me. Kau malah tersenyum
manja melihat tingkahku. Membuatku semakin malu. Akhirnya kau mengantarku ke
sekolah. Aku sangat senang kala itu, dunia terasa milik kita berdua.
Bising para siswa mulai terdengar di
telingaku. SMAN 3 BANGKALAN, tulisan besar di atas gerbang itu mulai terlihat
dari kejauhan. Itu sekolahku.
“Makasih ya kak!” ucapku sambil
memberikan helm padamu.
“Iya, sama – sama Bil” kau menjawab
dengan penuh senyuman. Andai kau tau, senyummu itu membuatku tak berdaya. Ingin
rasanya aku bilang kalau aku sangat menyayangimu. Tapi apa daya, aku malu, aku
kan cewek masak cewek ngomong duluan. Huft!
***
Ku pandangi liontin berbandul kupu –
kupu pemberianmu itu saat ulang tahunku. Liontin berwarna perak itu selalu aku
pakai. Aku akan selalu menyimpannya. Sampai sekarang aku selalu bertanya –
Tanya, kenapa kau bisa tahu hari ulang tahunku?, padahal aku tidak pernah
mengatakannya padamu. Tapi itu tidaklah terlalu penting untukku. Yang
terpenting kau tahu hari ulang tahunku. Apalagi sampai kau memberikan hadiah
untukku. Itu adalah hadiah terindah untukku. Aku sangat senang kau memberikan
liontin kupu – kupu untukku. Bukan kemilau kalungnya yang mebuatku senang, tapi
karena liontin itu berbentuk kupu – kupu. Kau masih ingat kalau aku suka kupu –
kupu.
Dulu waktu kita pergi tamasya
bersama kak Bima juga, kau terus memandangiku yang sedang mengejar kupu – kupu.
Kau tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak SD.
“Dia memang seperti anak kecil kalau
ada kupu – kupu!” kak Bima menjelaskan padamu.
“Ohya? Kenapa Bim.. ?” kau tertawa
mendengarkan penjelasan kak Bima.
“Dia memang sangat suka dengan itu.
Katanya sih, kupu – kupu itu hewan yang penyabar. Waktu kecil, dia pernah
bilang ingin menjadi kupu – kupu, dia ingin menjadi orang yang penyabar. Hewan
saja bisa sabar kenapa kita tidak. Itulah yang selalu dia katakan padaku.”
Penjelasan kak Bima sangat panjang lebar, aku melihat kau melongo mendengarnya.
“Hahahaha… Dia lucu sekali ya!” kau
langsung tertawa kala itu. Tahu kah kau? Saat itu aku menguping pembicaraanmu
dengan kak Bima di balik pohon cemara yang rindang. Dasar kak Bima memang
bermulut besar. Tapi berkat mulut besar kak Bima itu, kau memberikan hadiah
liontin kupu – kupu padaku. Liontin kupu – kupu yang mungil berhiaskan permata yang berkilau. Aku akan
selalu menyimpannya walaupun kita tidak akan bersatu. Tapi aku akan lebih
senang lagi kalau saja kau memberikan hadiah itu secara langsung. Tapi kau
malah menitipkan kepada kak Bima. Tapi tak apalah, kau tahu hari ultahku saja
aku sangat senang. Terima kasih ya kak! Bisikku dalam hati.
***
Kau
terindah kan selalu terindah
Aku
bisa apa tuk memilikimu
Kau
terindah kan selalu terindah
Harus
bagaimana ku mengungkapkannya
Kau
pemilik hatiku
Lagu pemilik hati dari Armada itu,
menyambut pagiku. Hari libur yang sepi. Biasanya kau selalu datang main ke kak
Bima. Bolak – balik aku memandangi pintu rumahku. Berharap ada orang yang
mengetuknya, dan itu kau. Aku terus memandangi pintu bercat coklat itu. Tapi
kau tak datang juga. Aneh, kau tak seperti biasanya. Kau kemana saat itu?.
“Cari Lian ya?” suara kak Bima
mengagetkan pandanganku.
“Ee,, enggak kok.” aku tertangkap
basah. Malu. Tapi aku berusaha ngeles.
“Oww.. kirain cariin Lian, kalau
Lian, dia ke Bandung ke rumah neneknya karena sedang liburan semester.” Sambil
membawa majalah dan duduk di sampingku.
“Hah? Ke Bandung, berapa lama?” aku
terkejut mendengar penjelasan kak Bima.
“3 bulan.” Jawaban kak Bima sangat
santai.
“Hah? 3 bulan? Lama banget.” Wajahku
berubah manyun. Karena aku tidak akan bisa melihatmu dalam waktu 3 bulan.
“Kamu suka Lian yaaaaa?” nada suara
kak Bima sangat menyebalkan. Dia meledekku.
“Apa sih?” aku mengelak, ada rasa
malu di hatiku.
“Halah.. ke kakaknya sendiri saja
pakek bo’ong.”kak Bima mencubit pipiku.
“Ihh,, sakit tau’, aku gak suka, aku
Cuma kagum saja.” Sambil menggosok – gosok pipiku yang sudah merah Karena
cubitan kak Bima.
“Tuh kan, akhirnya ngaku juga.
Hahahaha.” kak Bima terus meledekku.
“Tapi…” wajahku berubah jadi manyun.
“Kenapa?” kak Bima berhenti dari
tawanya.
“kok kak Lian gak bilang ke aku
kalau dia ke Bandung?”
“Tau’, mungkin kamu gak penting,!”
kak Bima berdiri dari sofa dan meleletkan lidahnya sambil berlari ke kamarnya.
Ingin sekali aku mengejarnya, tapi ku rasa percuma saja. Itu tidak akan
membuatmu kembali lebih cepat. Wajahku benar – benar kusut saat itu. Aku sangat
kecewa padamu. Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau akan pergi ke Bandung
selama 3 bulan? Kau jahat kak. Aku pasti akan sangat merindukanmu.
***
Hari – hari kulalui tanpamu
sangatlah sepi. Ada yang berbeda bila aku tidak melihatmu. Hatiku merasakan
rindu yang sangat dalam. Hanya liontin kupu – kupu darimu yang bisa menepiskan
rasa rindu dalam hati ini. Kapan kau akan kembali kak? Masih lamakah? Harus
sampai kapan aku tersiksa dengan rindu yang terus menerorku setiap saat?.
3 bulan yang kulewati benar – benar
menyiksaku. Apa kau juga merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan
padamu? Apa kau juga merindukanku? Aku harap iya. Aku selalu berharap kau juga
merindukanku. 3 bulan telah berlalu dengan begitu menyayat hati. Tapi aku tidak
tahu pasti kapan kau akan datang. Aku harap secepatnya, karena aku sudah sangat
lelah menantimu.
Tit.. tit.. bunyi klakson itu, aku
pernah mendengarrnya. Aku sangat berharap itu kau. Aku berlari dan langsung ku
buka pintu rumahku.
Deg.. tiba –tiba jantungku terasa
berhenti berdetak. Hatiku remuk dan hancur. 5 agustus 2011, kau kembali setelah
3 bulan pergi tanpa pamit padaku. Bagaimana hatiku tidak hancur? Kau datang
tidak sendiri, kau menggandeng seorang wanita yang cantik. Usianya mungkin lebih
tua dariku. Kau juga menggenggam erat tangannya. Aku tak tahu apa yang terjadi
padaku saat itu. Sakit. Hatiku teriris dan perih. Sekian lama aku menunggu
kedatanganmu dari Bandung, tapi setelah kau datang, kau menggandeng seorang
yang cantik.
“Lian…” teriakan kak Bima
mengagetkanku yang dari tadi hanya terdiam di depan pintu, tanpa mempersilahkan
kau masuk. Kau membalas dengan lambain tangan dan menghampiri kak Bima yang
sekarang berdiri di depanku.
“Kapan datang?” pelukan antara 2
sahabat. Sangat hangat.
“Tadi pagi Bim”
“Hei, siapa wanita itu? Cantik
banget”.
“Namanya Zahra, dia adalah calon
istriku!” kau menjawab sambil melirik ke arahku. Apa kau ingin meyakinkanku?
Tau kah kau kak? Betapa sakitnya hatiku saat kau bilang kalau wanita cantik itu
adalah calon istrimu. Mendengar ucapanmu, kak Bima langsung menoleh kearahku.
Kak Bima pasti tahu kalau aku patah hati. Wajah kak Bima berubah seketika.
Wajah yang tadi bahgia karena baru bertemu dengan sahabatnya kini berubah menjadi
seorang kakak yang merasa kasihan pada adiknya.
“Bilda.. apa kabar?” kau bertanya
dengan penuh senyum.
“Baik kak!” suaraku bergetar. Senyum
palsu menghiasi jawabanku. Apa kau tidak tahu kalau aku terpaksa tersenyum?
Hanya aku yang tahu, ada air mata di balik senyumanku. Kau memperkenalkan
wanitamu padaku. Aku tak mungkin menolak perkenalan itu.
“Aku masuk dulu ya.. kak Lian dan
mbak Zahra silahkan duduk” aku meninggalkan kak Bima, kau dan wanitamu yang
mungkin sekarang sedang asyik ngobrol di teras. Aku tak kuat lagi memmbendung
air mata yang dari tadi aku tahan. Aku tidak mungkin menangis di hadapanmu.
Karena aku tidak ingin kau melihat air mataku. Ternyata kau hanya menganggapku
adik. Itu yang ku tangkap dari sikapmu selama ini. Bodohnya aku sempat mengira
kau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu. Seharusnya aku tak berhak untuk
menangisi ini semua. Karena aku bukan siapa – siapa untukmu. Kau hanya sebuah
nama yang terukir tipis dihatiku tanpa aku minta kau untuk mengukirnya. Aku
hanya bisa mencintaimu secara diam – diam tanpa ada balasan darimu. Aku tak
akan penah menyesal karena telah mengenalmu dan mencintaimu. Kau akan tetap
menjadi my first love, walaupun aku tidak tahu siapa yang akan menjadi my last
love. Apa aku masih pantas mengaharapkanmu sebagai cinta terkhirku? Entahlah.
Maafkan aku kak, aku telah lancang karena mencintaimu secara diam –diam. Jangan
pernah membenciku karena telah menyayangimu lebih dari seorang kakak. Cinta
dalam hati, mungkin sangat pas ku jadikan judul untuk kisahku ini.